Kamis, 22 Januari 2009

SENI SERAT, SEBUAH KEMUNGKINAN

















Di tengah gegap gempita pameran seni lukis Yogyakarta, seni serat hadir di tengah-tengah kita. Pada tanggal 3 sampai 11 Januari 2009 digelarlah pameran seni serat dengan tajuk Fiber Face 2 Yogyakarta, di Taman Budaya Yogyakarta. Pameran ini diselenggarakan oleh Rumah Budaya Babaran Segaragunung bekerjasama dengan Taman Budaya Yogyakarta. Disamping pameran itu sendiri, terdapat sub acara Sarasehan dan Slide Show pada tanggal 4 Januari di ruang seminar TBY, yang menghadirkan peserat senior Biranul Anas dari Bandung, dan Hani Winotosastro dari Yogyakarta.

Banyak rekan-rekan seniman dan akademisi yang melontarkan pertanyaan, ini pameran apa? Sekiranya maklum sebab event pameran seni serat memang belum lazim diselenggarakan di Indonesia. Dari 3 kali pameran seni serat yang digelar Rumah Budaya Babaran Segaragunung (BSG) tahun 2007 (Fiber Face Yogya 2007, di Galeri Rumah Budaya Babaran Segaragunung), tahun 2008 (Fiber Face, Cross-Cultural Batik Collaborations, Indonesia 2008, di Taman Budaya Yogyakarta), dan yang sekarang tahun 2009 (Fiber Face 2 Yogyakarta 2009, Evolusi) di Taman Budaya Yogyakarta, ketiganya menuai pertanyaan-pertanyaan serupa yang sebenarnya masih permukaan sifatnya. Hal ini berbeda dengan reaksi pengunjung umum yang justru bisa langsung masuk dalam apresiasinya tanpa terganggu hal-ihwal yang sifatnya definitif demikian. Rata-rata mereka memperhatikan dengan khusuk satu karya lalu berpindah ke karya lain yang secara bentuk dan substansi memang beragam.



Secara garis besar seni serat adalah karya seni yang dari segi teknik dan subtansi mengeksplorasi media serat. Unsur-unsur teknik meliputi: pintal, anyam, rajut, songket, dan teknik lain semacam itu. Jadi, bukan pencapaian bentuk akhir yang menjadi acuannya. Bentuk akhir bisa menjadi sangat variatif: karya dua dimensi, karya tiga dimensi, serta pula karya instalasi.

Sekiranya variasi-variasi tersebut merupakan sesuatu yang menarik bagi kreator, apresian maupun publik penikmatnya. Yang menarik bukan semata variasi itu sendiri, melainkan karena terhamparnya kemungkinan-kemungkinan yang acapkali mengejutkan karena tak disadari sebelumnya. Dalam kurang dan lebihnya, aneka ragam karya yang tersaji di ruang pameran itu, siapakah yang pernah membayangkannya? Citra setiap karya terkait dengan masing-masing media dan teknik yang digunakannya.

Memang seni serat belum sepopuler seni lukis yang eksistensi dan infrastrukturnya sudah mapan serta tergarap. Tapi bahwa seni serat merupakan kekayaan budaya yang lekat dengan lingkungan siapa saja, dengan tradisi masyarakat manapun, yang karenanya menyodorkan kemungkinan-kemungkinan pengolahan dan penjelajahan, itu belum banyak disadari oleh khalayak. Bahan untuk membuat karya sifatnya fleksibel, mudah dan murah mendapatkannya, sehingga—berkaitan dengan itu—tak ada alasan bagi kita untuk mengeluh ini dan itu. Secara teknik juga bisa mengadopsi dari mana-mana—sebagaimana kita tahu, di negeri kita ini karya-karya seni tradisional telah mencapai kematangan masing-masing tekniknya yang bisa kita pelajari dan kita kembangkan—Dan kita berhak untuk bertanya: pada titik eksplorasi yang optimal dan totalitas berkarya yang optimal pula, seberapa jauh mutu dan seberapa kayakah ragam rupa dari seni serat yang seharusnya? Betapa slide show Biranul Anas yang menampilkan karya-karya seni serat mashur dari berbagai negara seolah-olah menantang kita semua.


















Berkaitan dengan pameran Fiber Face 2, sebagian orang masih merasa ada satu kerancuan oleh sebab banyak karya batik yang dipajang dalam pameran ini. Apakah batik juga masuk kategori seni serat? Bagaimana halnya dengan lukisan, yang menggunakan kanvas, yang notabene jika diurai secara subtantif juga terdiri dari media serat?

Dalam hal ini batik dan lukisan mesti dibedakan. Meskipun secara sepintas terkesan sama, secara proses antara batik dan lukisan-kanvas teranglah berbeda. Lukisan kanvas tidak melakukan pengolahan media kanvasnya, melainkan hanya eksplorasi cat—teknik gores dan warna—yang sekali jadi. Berbeda dengan batik, yang untuk menghasilkan warna tertentu harus lebih dahulu mempertimbangkan dan mengakrabi media kain dan warna yang akan digunakan, yang notabene prosesnya tidak bisa sekali jadi. Batik masuk dalam kategori serat karena mengandung pengolahan teknik dan bahan yang mengacu pada media serat terkait.



Sampai di sini persoalan belum usai, oleh sebab karya-karya lain yang ada dalam ruang pameran menggunakan media kawat, peniti, tembaga kabel, kayu, serta—dalam slide show yang ditunjukkan oleh Biranul Anas—menampilkan contoh karya seni serat yang terbuat dari perak. Perak secara subtantif bukanlah media serat. Karya tersebut dikategorikan seni serat oleh karena dalam citraan bentuknya menggunakan pendekatan karakter serat, yang diolah sedemikian rupa menyerupai serabut. Duz, Biranul Anas—yang mengaku pertama kali memperkenalkan istilah ‘seni serat’ di Indonesia—menekankan betapa seni serat bisa menggunakan media apa saja. Dan ini merupakan peluang bagi siapa saja yang ingin menekuninya. Ia menghimbau pengunjung slide show-nya untuk tidak terlalu tegang dalam memaknai apa itu seni serat. Yang utama berkarya, apapun bentuknya, apapun medianya. Seni serat tidak harus terpaku begini dan begitu.

Namun, melihat luasnya batas definisi seni serat yang sedemikian, saya ingin mencoba memberikan satu rel—tanpa bermaksud mengekang keluasannya—dengan menyimpulkan: bahwa terdapat tiga pendekatan proses kreatif yang bisa dijadikan acuan dalam seni serat antara lain: pendekatan teknik, pendekatan subtantif, dan pendekatan karakter. Maka batik dan semacamnya merupakan karya yang menggunakan pendekatan subtantif sekaligus teknik. Karya-karya yang non-subtantif seperti logam, kayu, keramik, dan lainnya menggunakan pendekatan karakter atau teknik-karakter.


















Halim HD, yang juga terlibat sebagai moderator sarasehan bahkan sempat memberikan sentilan yang cukup menantang. Ia berandai-andai, melalui pendekatan karakter prospek seni serat mungkin saja bisa merambah pada media cahaya. Dilontarkannya satu gagasan imajinatif tentang ribuan cahaya laser yang disemprotkan bersamaan hingga membentuk anyaman-anyaman cahaya dalam berbagai formasinya.

Hal lain yang menjadi pertanyaan, lagi-lagi kembali kepada soal batik. Kenapa batik ditampilkan bersama-sama dengan karya-karya seni serat kontemporer yang eksploratif itu? Dalam sarasehan Biranul Anas mengutarakan perlunya pembedaan ruang secara jelas antara yang tradisional dan kontemporer. Hal itu mengingat kebebasan kreatif perlu mendapatkan keleluasaan tanpa dibelenggu pakem-pakem masa lalu. Tradisionalisme cukuplah menjadi spirit di dalam berkarya, untuk selanjutnya seorang seniman bisa melaju bebas dalam ranah imajinasi dan penjelajahan artistiknya sendiri. Secara sikap pribadi ia mengaku memberikan altar penghormatan yang tinggi kepada karya-karya tradisional. Namun secara praktis ia cenderung bersikap progressif dan eksploratif, serta secara tegas membuat dikotomi ruang antara yang tradisional dan kontemporer.

















Lain halnya dengan tanggapan yang diutarakan Agus Ismoyo, yang turut terlibat dalam proses seleksi dan kuratorial pameran ini. Bagaimanapun ia merasa perlu adanya penyandingan antara yang tradisional—dalam konteks pameran ini berarti batik dan wayang kulit—dengan yang kontemporer. Pertama, terkait dengan tema Fiber Face (wajah serat). Telah disadari sejak awal bahwa secara kuratorial pameran ini memang hendak menampilkan ‘wajah serat’ dari berbagai kurun waktu dan berbagai generasi. Kedua, terkait dengan judul pameran ‘Evolusi’, bahwa pameran ini dikontribusikan kepada khalayak banyak, generasi muda khususnya, supaya melihat evolusi atau pergeseran yang terjadi dalam ekspresi tiap-tiap karya seni serat yang disuguhkan.

Agus Ismoyo juga menguraikan pandangannya, bahwa dengan menampilkan seni-seni tradisional, ia berharap khalayak bisa menangkap suatu ‘tatanan’ yang terdapat di dalam seni tradisional itu. Sebutlah ‘tatanan’ itu sebagai sebuah konstruksi yang menjadi panduan satu pribadi dalam melakukan proses kreatif. Ia mencontohkan, melalui pengalamannya berkolaborasi dengan para seniman Aborigin ia menjadi tahu bahwa dalam proses kreatif mereka memercayai apa yang disebut dreaming, sebagai pijakan dalam mengungkapkan corak ekspresinya. Dreaming merupakan sebuah kristalisasi pengolahan kreatif yang dimiliki oleh masing-masing kreator setelah melampaui fase-fase pengendapan sebelumnya. Dan untuk menuju pada fase itu mereka menempuh ‘tatanan’ kreatif yang sudah ada secara turun temurun, yang menjadi tradisi mereka. Agus Ismoyo mengungkapkan, hal serupa juga terkandung dalam seni tradisional yang lain, tak terkecuali seni tradisional Jawa. Bahwa ‘tatanan’ itu menempati posisi yang signifikan dalam proses kreatif yang kontemporer sekalipun. Batik yang dipajang dalam ruang pameran, bukan semata-mata lembaran jarik yang berfungsi untuk kekenesan penampilan, melainkan dimaksudkan sebagai sebuah jendela apresiasi, supaya generasi muda juga mengenal ‘tatanan’ termaksud. Dalam konteks ini, Agus Ismoyo menerangkan bahwa kuratorial pameran ini memang menggunakan perspektif budaya yang ingin menjangkau kepentingan kebudayaan lebih luas, bukan hanya elemen artistik dan estetika semata.


















Lain daripada itu, Nia Fliam juga turut menambahkan, bahwa generasi muda sekiranya perlu mengetahui proses kreatif yang telah terjadi dari masa ke masa supaya dalam menjelajah gagasan-gagasan kreatifnya tidak terlepas dari akar kulturnya. Euforia wacana Barat yang hegemonic sejak masuknya seni modern yang diperkenalkan oleh kolonialisme Belanda hingga sekarang masih meninabobokan generasi muda yang terkesan enggan untuk menelusuri akar kebudayaannya sendiri. Ia juga menekankan makna pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam proses kreatif—dicontohkan proses pembuatan batik—yang tidak serta-merta seorang seniman bisa berpesta dengan gagasannya melainkan mesti lebih dahulu mendidik diri untuk teliti, tekun, dan sabar—karena kompleksitas dan kerumitan tekniknya—bukan langsung berjibaku dengan wacana dan estetika tanpa fondasi dan akar kultur yang kuat.

Ya. Yang seharusnya, generasi muda ke depanlah yang bisa menjawab. Segelintir penyelenggaraan pameran seni serat di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta hanyalah sebuah upaya kebudayaan yang mencoba memberikan stimulasi dan introduksi. Pada akhirnya semuanya berpulang kepada bagaimana publik menyambutnya.

Dan seni serat bukanlah definisi yang mati. Ia akan terus bergerak bersama kemungkinan-kemungkinan yang mengiringinya.

Yogyakarta, 9 Januari 2009
DS PRIYADI
Koordinator Program
Rumah Budaya Babaran Segaragunung

Tidak ada komentar: